Ragam

Manusia-manusia Balok dan Indonesia Kubistik

Rabu, 12 Desember 2012 18:13 WIB Redaksi 583
 Manusia-manusia Balok dan Indonesia Kubistik

Dalam menyiapakan pembangunan bangsa dan negara yang kokoh itu tidak semata dinilai dari kekuatan finansial yang dimiliki satu negara, tetapi yang paling penting semangat dan kemauan bertindak-bersikap. Paling tidak kedua elemen ini harus tertanam dalam diri pemuda yang berpikir kreatif dan cerdas. Mereka yang menjaga dan merawat semangatnya. Seperti halnya kemerdekaan Republik Indonesia ini, senyata-nyatanya tidak berangkat dari saling pamer kekuatan senjata, melainkan semangat memimpikan negara yang berdiri dengan kakinya sendiri masih setia dirawat dan kobarkan.
Manifestasi dari semua itu tidak lain terlahirnya Sumpah Pemuda sebagai narasi besar yang diciptakan generasi muda intelek dari berbagai penjuru tanah air. Pada pra kemerdekaan, negara Indonesia haya sebuah negara imajinasi. Sebuah wilayah yang dibangun dari perbedaan suku. Jikapun terjadi kemerdekaan, sifatnya hanya kemer­deka­an sektoral. Ini sudah disadari betul oleh para pemuda cerdas dari setiap pelosok tanah air. Mereka memiliki semangat yang sama untuk mendamba­kan sebuah negara yang kuat, merdeka dari segala macam kolonialisasi. Maka sebagai sejarah abadi, sumpah para pemuda itu merupakan wujud nyata kekayaan intelektual para pemuda yang mesti terus dijaga hingga sekarang ini.
Tahun ini genap 84 tahun usia Sumpah Pemuda diikrarkan. Usia yang cukup mapan untuk memiliki orientasi sendiri ihwal menentukan masa depan kedaulatan bangsa, di mana keterlibatan negara kolonial nyaris tidak memiliki lagi tempat di tanah air tercinta untuk sewenang-wenang melakukan kehendaknya. Namun bukan berarti kita lepas dari segala macam intimidasi, musuh baru pun bermunculan dengan variasi bentuk yang baru. Disorientasi dan kolonialisasi mental lamat-lamat telah mendegradasi sakralitas nilai-nilai sumpah pemuda yang bersumbu pada persatuan.
Sebagai pewaris artefak intelektual para pemuda cerdas 84 tahun lalu, nampaknya kita telah gagal untuk mengawalnya pada masa reformasi ini. Terlalu banyak kepentingan politik yang bertumpu pada golongan tertentu, kepada kaum pemodal. Semangat kesatuan dan persatuan nampak samar dan nisbi. Kesatuan dan persatuan yang muncul belakangan ini malah cenderung memperlihatkan taring-taring primordial, pemanfaatan komunitas untuk saling membacking. Maka sering kita jumpai tawuran pelajar, bentrok antar warga, bentrok antar ormas, di sekitaran kita yang laris menghiasi koran dan televisi sebagai buah dari lengahnya pengawalan semangat sumpah pemuda.
Usia ke-84 sumpah pemuda tahun ini merupakan momentum yang dilanda banyak sekali cobaan. Cobaan paling fatal adalah tumbuhberkembangnya faham-faham primordial yang kebablasan. Sikap saling ingin melenyapkan satu sama lain atas dasar nafsu dan kekuasaan. Feneomena inilah yang coba diangkat oleh sekelompok punggawa Teater Dongkrak Tasikmalaya 30 Oktober 2012 di Kemenpora RI di hadapan Menteri Pemuda dan Olah Raga Andi Malarangeng.
Pertunjukkan yang berlangsung selama dua puluh menit ini, dimulai dengan kemunculan manusia-manusia kubistik. Manusia-manusia balok. Potret manusia Indonesia hari ini yang suram dan menegangkan. Kelahiran jabang bayi yang jadi harapan keluarga, justru menjadi kewaswasan bagi setiap orang tua. Notabene lahir di tanah Indonesia hari ini, si jabang bayi dapat lebih mudah berkenalan dengan dunia barbar, daripada tanak dalam petuah-petuah nenek moyang yang arif.
Manusia-manusia kubistik dan manusia-manusia balok dalam pertunjukkan "Kala Juang" yang disutradarai Wit Jabo Widianto, pada mulanya manusia-manusia yang belajar bersuara, bernyanyi, dan bersiul. Manusia yang belajar berjalan dan berlari. Manusia modern yang belajar mengeja zaman meski situasi cukup gamang untuk dikenalnya. Di antara mereka tumbuh nafsu kuasa untuk menguasi pihak lain. Tentu tidak dengan ongkos murah untuk mewujudkan itu. Tetapi bagi seorang ambisius, apa pun caranya akan ia tempuh asal terpenuhi hasrat kekuasaanya yang jorang.
Suasana Getir, putus asa, dan ironisme, tema mayor yang ditawarkan dalam pertunjukkan mini kata Teater Dongkrak. Suasana ini saya pikir relevan dengan peristiwa nyata Indonesia hari ini. Ruang-ruang bahagia nyaris tidak ditemukan bagi anak-anak yang kehilangan kegembiraan masa kecilnya. Lahan bermain mereka yang digusur untuk kemudian dibangun real-estate, mall, plaza, regency, dsb, telah membantu dengan cepat masa kecilnya lupa pada hakekat gotong royong. Padahal falsafah kegembiraan masa kanak wujud dari penanaman nilai gotong royong pembangunan bangsa yang seharusnya tertanam sejak dini.
Bocah-bocah dewasa ini lebih akrab dengan budaya pola pikir instan, meraih tujuan tanpa melakukan proses matang. Kekerasan dan tindak kriminal serupa lalap di meja makan. Selain itu, manusia-manusia disorientasi dalam "Kala Juang", tumbuh sebagai hegemoni kaum pemodal yang bedegong. Mereka dengan kekuatan modalnya memanfaatkan kekayaan alam yang semestinya dikelola negara untuk kepentingan hajat hidup orang banyak, nyatanya dikelola swasta untuk kepentingan sendiri dan golongannya. Celakanya, hal ini difasilitasi pemerintah melalui pemberian izin yang teramat mudah dengan dalil peningkatan PAD. Akan tetapi dampak luar biasa terhadap keseimbangan ekosistem lingkungan untuk keberlangsungan generasi berikutnya sama-sekali tidak diperhitungkan.
Para aktor terus menggerakkan tubuhnya. Tubuhnya mereka bak tanah liat yang dicipta untuk menandai setiap perkembangan zaman. Mereka mengembara ke dalam perjalanan batinnya masing-masing untuk menemukan jawaban purna tentang identitas sejatinya. Di sudut yang lain seorang pelukis Leo Sipenatap Bulan merespon pertunjukkan "Kala Juang" lewat sapuan warna pada kuas. Warna-warna tegas dan coretan ekspresif ia aksentuasikan ke dalam tema kelahiran generasi baru. Genarasi yang diharapkan mampu meniupkan kembali terompet akar Sumpah Pemuda yang sebenarnya, yakni meneriakkan kembali semangat persatuan dan kesatuan..
Pertunjukkan Teater Dongkrak tersebut sebuah refleksi berharga dalam memaknai hari Sumpah Pemuda. Selain sebagai narasi besar, Sumpah Pemuda juga merupakan puisi maha karya yang tak habis kita baca hakikat dan metodenya. Teks tersebut dirancang bukan untuk kepentingan sesaat, melainkan menentukan dan memastikan idealisme gotong royong sebuah bangsa untuk merumuskan nasib dan kemerdekaannya dimasa depan. Sumpah Pemuda itu penyatuan lima pilar unsur-unsur penting elemen kehidupan yang dirumuskan Moehammad Yamin yakni sejarah, hukum adat, bahasa, pendidikan, dan kemauan.
Teater Dongkrak dengan "Kala Juang"-nya memberikan tawaran buah intelektual M. Yamin kepada ratusan apresiator yang datang di halaman Kemenpora RI. Pertunjukkan tersebut menyampaikan pesan moral yang kuat, membakar lagi sumbu-sumbu persatuan agar nilai-nilai kebersamaan dan keberagaman diletakkan sebagai pondasi awal untuk membangun kembali
humanisme manusia Indonesia
selanjutnya...***
Author : Nunu Nazarudin Azhar
SUMBER:http://www.kabar-priangan.com/news/detail/6825



Scroll to Top